Sekilas Sejarah Administratif Kepulauan Balabalakang

  • Bagikan

Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) memiliki dua kepulauan. Pertama Kepulauan Tonyaman di Teluk Mandar, hanya “selemparan batu” dari daratan Pulau Sulawesi. Kedua, Kepulauan Balabalakang di Selat Makassar, jaraknya puluhan mil dari Pulau Sulawesi.

Oleh:

Muhammad Ridwan Alimuddin

(pemerhati kemaritiman Mandar)

Kepulauan Tonyaman berjarak kurang 10 km dari Sulawesi Selatan (Sulsel) masuk wilayah Kabupaten Polewali Mandar (Polman); Kepulauan Balabalakang yang masuk wilayah Kabupaten Mamuju jaraknya 60-an km dari Kalimantan Timur (Kaltim). Ya jauh, tapi Kaltim getol mau ambil itu kepuluan terkaya di Selat Makassar. Nah inilah yang bikin ‘panas’ Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulbar dan Kabupaten Mamuju.

Apakah betul Kepulauan Balabalakang masuk wilayah Kabupaten Mamuju? Berikut sekilas sejarah kewilayahannya.

Dalam peta-peta kuno, Kepulauan Balabalakang disebut Kepulauan Paternoster Kecil. Ada dua kepulauan bernama Paternoster di Selat Makassar. Yang besar berada di bagian selatan Selat Makassar, sedang yang kecil berada di bagian tengah Selat Makassar, dalam hal ini Kepulauan Balabalakang.

Kenapa diberi nama Paternoster? Asal usul nama secara pasti tidak diketahui. Tapi ada dugaan penamaan itu ada hubungan dengan tradisi pelaut Eropa. Banyak orang percaya bahwa nama itu, yang berarti “Bapa Kami” dalam bahasa Latin, merujuk pada doa yang diucapkan oleh pelaut Portugis ketika kapal mereka terancam karam. Seperti umat muslim, jika melihat sesuatu yang luar biasa akan spontan mengatakan “Masya Allah”. Sebagai karang penghalang, Balabalakang memang bisa jadi penghalang dalam pelayaran.

Pelaut Eropa sudah mengetahui tentang Kepulauan Balabalakang, sebagaimana di peta yang digunakan Thomas Forrset (1774) yang menuliskan “Little Paternoster called Balabalakan”. Istilah Balabalakang kemungkinan berasal dari istilah “balacang”. Catatan Thomas Forrest, dalam buku “A Voyage to New Guinea and the Moluccas from Blambangan, including an account of Mangindanao, Soolo and other islands”.

Dalam buku David E. Sopher “The Sea Nomads” yang terbit 1977 oleh National Museum Singapura, dikutip catatan Thomas Forrest prihal Kepulauan Balabalakang. Berikut terjemahannya, “Di depan Pasir, di pantai tenggara Kalimantan di seberang Makassar, ada Bajaus yang menangkap udang dan membuat “belachan”… Di Kepulauan Little Paternoster di Selat Makassar pada tahun 1773 banyak kapal Bajau berukuran lima hingga enam ton, yang menggunakan tiang layar tripod dengan “layar tanjung”. Mereka sedang berlabuh mencari tripang dengan ladung. Mereka juga menyelam untuk mencari tripang terbaik.”

Sekadar catatan, dalam Kamus Mandar karya Abdul Muthalib: “balacang belacan (n. ikan kecil, udang kecil yang sering dibuat terasi)”. Belum ada ditemukan catatan tertulis versi klasik, misalnya yang ditulis orang Eropa, prihal Kepulauan Balabalakang. Tapi ada tradisi lisan yang masih segar terekam oleh tetua-tetua di beberapa pulau di Kepulauan Balabalakang, selain yang saya dengar langsung saat riset di Kepulauan Balabalakang, juga terkutip dalam buku “Profil Pulau-Pulau Kecil Propinsi Sulawesi Barat” yang ditulis Chair Rani dkk pada 2015 terbitan Masagena Press.

“Menurut cerita tokoh masyarakat yang dijumpai di pulau-pulau Balabalakang, keberadaan Suku Bajo di pulau-pulau tersebut ketika itu tidak membuat nyaman para pelayar yang melintasi Kepulauan Balabalakang karena suku terapung tersebut melakukan penghadangan dan perampokan terhadap perahu-perahu pelayar dan pedagang yang melintas di Selat Makassar, termasuk pelayar dan pedagang dari Majene. […] Ulah perompak dari Suku Bajo tersebut membuat para petinggi dari Kerajaan Sendana di Majene kemudian bersepakat untuk membasmi aksi para perompak tersebut. Pada tahun 1920-an, Kerajaan Sendana kemudian mengirim pasukan yang dipimpin oleh Puang Aco dan Puang Biaya, yang masih satu keluarga, untuk membasmi perompak tersebut di Kepulauan Bala-Balakang. Sesampaianya di kepulauan Bala Balakang, Pua’ Aco dan anaknya kemudian tinggal di Pulau Saboyang sedangkan Pua’ Biaya memilih menetap di Pulau Ambo bersama istrinya.”

  • Bagikan