Dalam podcast Manmesa di Youtube, diposting 15 Februari 2022 berjudul “BLT PODCAST #Eps3 WARNA BARU MAJENE?”, bisa diketahui pihak-pihak yang terlibat, latar belakang dan motivasi penggantian logo Kabupaten Majene. Tim Manmesa mewawancarai pak Darmansyah, yang menjadi “think tank” dan juru bicara tim.
Oleh:
Muhammad Ridwan Alimuddin
Latar belakangnya sebagai mantan anggota DPRD Kabupaten Majene, dosen, ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat dan tenaga ahli di lingkungan Pemerintah Kabupaten Majene menjadi alasan perannya penting dalam pengusulan. Meski dia sampaikan bahwa untuk urusan logo itu sifatnya pribadi, tak ada hubungan dengan jabatannya.
Digabung dengan informasi paparan ‘powerpoint’ berjudul Makna dan FilosofiLambang serta Semboyan Kabupaten Daerah: Suatu Tinjauan Historis, saya punya informasi mendasar untuk ditanggapi. Dengan kata lain, kalau informasi masih pihak ketiga dan dari media sosial, kekuatannya agak ‘lemah’. Bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Tapi karena ada wawancara langsung di Youtube dan ada file paparan yang memang dibuat oleh tim, saya tak perlu melakukan konfirmasi ke yang bersangkutan.
Misalnya, motivasi penggantian empat petak di perisai. Dalam penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene Nomor: 3 Tahun 1979, Arti Bahagian-bahagian Lambang, empat petak itu adalah simbol empat kecamatan yang menjadi penyusun awal Kabupaten Majene: Banggae, Pamboang, Sendana dan Malunda.
Nah di usulan logo baru, tetap empat tapi bukan lagi dimaknai empat kecamatan, tapi (sebagaimana tertulis di slide ke-14): “Perubahan:4 buah petak dalam ruang perisai/ tameng (punggung penyu) tetap dipertahankan, namun maknanya berubah dan melambangkan bahwa asal usul kesejarahan masyarakat kabupaten Majene berasal dari masyarakat adat:(1) Kerajaan Sendana,(2) Kerajaan Banggae,(3) Kerajaan Pambauang, dan(4) Lalikang Tallu.”
Di slide berikut dijelaskan, misal “Lalikang Tallu adalah 3 komunitas masyarakat adat di Kecamatan Malunda; (1) Malunda’ tomemata di Mangihang, (2) Mekkatta tomemata di saha/ ular, (3) Lombang tomemata di kodo); Pallayarang Tallu adalah 3 komunitas masyarakat adat di Kecamatan Pambauang; (1) Pappuangang Adolang, (2) Pa’bicara Lalambanua, (3) Pa’bicara Bonde’; Totallu Banua adalah 3 komunitas masyarakat adat desa Tallu Banua; (1) Tunubulang, (2) Poniang, (3) Karema’;Bocco Tallu adalah 3 komunitas masyarakat adat (1) Sendana, (2) Alu/ Paminggalang, (3) Taramanu’ (Sambaho, Panggalo, Ulumanda’/ Besoangi, dan Manyamba di kecamatan Tammero’do’),” dan seterusnya.
Kenapa itu dijadikan alasan? Mendengar jawaban pak Darmansyah di Youtube, supaya ke depan logo tak lagi diganti kalau kecamatan dan desa bertambah. Itu disampaikan merespon pertanyaan atau asumsi publik terhadap alasan penggantian logo yang di beberapa unsur tak lagi relevan: Kan dulu diawali empat kecamatan dan 126 kampung; sekarang 8 kecamatan dan 82 desa. Kalau ke depan bertambah, berubah lagi dong logonya?
Artinya, tim pengusul logo baru tak lagi menyandarkan pada fakta historis tentang admistrasi kecamatan dan setingkat kampung pembentuk Kabuten Majene, melainkan unsur penyusun yang ada di tiga kerajaan plus satu lembaga hadat di Malunda. Pertanyaannya, apakah yang dibuatkan logo ini sebuah kerajaan besar atau federasi tiga kerajaan plus satu lembaha adat?
Ini menjadi penting agar tidak ada sesat logika. Unsur kecamatan yang diambil di ketika membuat logo Kabupaten Majene (logo yang masih berlaku sekarang) karena memang ada empat kecamatan saat Kabupaten Majene dibentuk. Bukan ketiganya sebagai kerajaan dan satu lembaga adat waktu itu, sebab memang pada masa Kabupaten Majene berdiri dan saat logonya dibuat, secara formal tak ada lagi kerajaan-kerajaan dan lembaga hadat.
Logo baru filosofinya malah mundur ke belakang, menggunakan lembaga-lembaga di masa kerajaan, di masa sebelum pemerintahan modern.Ini sepertinya logo baru disusun berdasar yang sudah tidak ada.
Ingat, ini logo kabupaten lho,bukan logo persekutuan beberapa kerajaan!
Kesimpulannya, logo baru tak perlu diganti. Daun kelapa serta daun kelapa di logo yang ada sekarang dalam sekali maknanya. Ini tafsirnya banyak, butuh tulisan tersendiri untuk membahasnya. Yang harusnya dilakukan adalah memperbaiki logo ini agar sesuai penggunaannya di masa sekarang.
Pengalaman mencari logo Kabupaten Majene di mesin pencarian di internet, misal Google, itu akan muncul beberapa versi. Logo mana yang benar? Warnanya beda-beda, demikian juga unsur daun dan bunga kelapanya. Itu mungkin disebabkan logo Kabupaten Majene dibuat di masa belum ada internet. Jadi ketika mau didigitalkan, sepertinya Kabupaten Majene tidak membuat tim khusus, melainkan orang atau instansi buat sendiri-sendiri lalu itu yang diunggah ke internet.
Idealnya Pemerintah Majene membentuk tim khusus untuk memperhalus logo Kabupaten Majene dengan tetap berdasar pada logo lama. Misal sudah memiliki Panduan Penggunaan Logo (yang biasa ada di perusahaan). Kalau warna hijau kode warnanya berapa, demikian juga warna yang lain. Agar ada keseragaman saat diolah dikomputer, di mesin percetakan.
Nah yang harus diperbaiki juga adalah perahu yang ada di logo sekarang ini. Di aturan penyusunan logo Kabupaten Majene disebut bahwa perahu di logo adalah perahu olangmesa. Hanya saja, perahu di logo itu bukan model olangmesa. Itu terlihat dari bentuk desain “paccong” haluan dan buritan. Keberadaan tali temali dan tiang layar, kaitannya bentuk layar “tanjaq-nya” itu bukan begitu adanya. Bukan seperti itu realitas di lapangan. Itu lebih parah di usulan logo baru: perahunya menghadap ke kiri, tapi konstruksi sistem layar mendorong perahu ke kanan. (*)