Nilai Luhur di Logo Kabupaten Majene (Sekarang)

  • Bagikan

Ada beberapa logo “usulan” yang tersebar di media sosial. Tapi yang saya gunakan dalam tulisan ini adalah logo yang secara masif disosialisasikan ke beberapa tempat oleh para pengusul agar logo Kabupaten Majene.

Oleh:
Muhammad Ridwan Alimuddin

Berikut hasilnya: Dua belas unsur yang ada di logo Majene dengan logo usulan adalah bintang, perisai, warna merah, warna putih, warna biru, warna hijau, perahu, buah kelapa, pita, kata MAJENE, gunung, dan tempayang (di Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene Nomor: 3 Tahun 1979 tertulis batil, tapi saat saya cek apa arti kata itu di kamus tak ada ditemukan). Unsur pengganti ada dua: kapas menggantikan simbol daun kelapa dan padi menggantikan bunga kelapa.

Adapun unsur tambahan di logo baru ada empat: motif karapas penyu di perisai, motif sutera di bagian atas perisai, kata ASSAMALEWUANG di pita, dan simbol buku. Posisi gunung yang tadinya di tengah digeser ke kanan, perahunya pun menyerong. Khusus perahu agak rancu sebab haluan perahu menghadap ke kiri (simbol menghadap ke laut yang berwarna biru), tapi kalau melihat bentuk layar, posisi tiang dan tali temali, itu arahnya ke kanan.

Dengan kata lain, ada kekeliruan fatal di simbol unsur perahu. Harus dijelaskan, perahu apa yang dimaksud di logo tersebut? Yang jelas dengan model perahu demikian, dalam kebaharian Mandar di Majene, tidak ada perahu begitu modelnya demikian.

Kesimpulannya, yang dominan di logo usulan hanya pengaturan ulang komposisi (setidaknya 12), hanya mengganti bentuk. Kebaruan hanya enam untuk tidak menyebutnya empat, sebab dua diantaranya menghilangkan dua unsur di logo Kabupaten Majene yang ada saat ini.

Tapi kalau “bermain tafsir”, sejatinya unsur tambahan sutera, persatuan (yang berada pada kata Assamalewuang), dan buku (unsur Majene sebagai Kota Pendidikan) sudah ada koq di logo yang ada sekarang!

Pertama sutera. Dalam tradisi penenunan di Mandar, agar benang sutera lembut dan bisa ditenun, terlebih dahulu harus dicuci, yang disebut “massassa”. Bahan utama utama yang dipakai adalah abu dari bunga kelapa kering beserta “lopi-lopinya”. Abu tersebut diaduk bersama seember air bersih, didiamkan semalaman. Bagian yang jernih diambil, lalu digunakan memasak benang sutera mentah selama lebih kurang dua jam. Setelah itu benang dicuci, diangin-anginkan, untuk kemudian diberi pewarna, lalu ditenun.

Kedua simbol persatuan. Tak perlu ada kata ASSAMALEWUANG (atau ASSAMALEBUANG, saya lebih memilih menggunakan ini). Kan sudah ada simbol gunung. Apa hubungannya? Mari kita lihat Bab II Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene Nomor: 3 Tahun 1979, Arti Bahagian-bahagian Lambang, Pasal 2, ayat 7.

Di situ tertulis, “Tiga deretan puncak gunung melambangkan bahwa dinamika Pertumbuhan Perjuangan Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene, dilatar belakangi oleh sejarah pertumbuhannya, yang bersumber dari Kebudayaan Mandar yang dirubah dan dibahagi menjadi tiga daerah Kabupaten masing-masing: 1. Kabupaten Majene; 2. Kabupaten Polewali Mamasa, dan 3. Kabupaten Mamuju; …”. Saya kaget membaca ini. Luhur sekali ini logo Majene!

Saya bisa pastikan, lima logo kabupaten lain di Provinsi Sulbar tidak secara tersurat di dalam penjelasan peraturan logonya menyebut ‘peran’ atau unsur kabupaten lain di logo kabupaten mereka! Adapun Kabupaten Majene terang-terangan menyebut Kabupaten Polewali Mamasa dan Kabupaten Mamuju. Ini cukup luar biasa, dahsyat. Ini “assamalebuang” yang sejati! Tidak ego.

Kesejatian tersebut sepertinya ‘dihilangkan’ di logo usulan. Itu terlihat dari salah satu paparan (setidaknya ada dua paparan ‘powerpoint’ yang dibuat tim pengusul logo baru) yang saya pelajari untuk membuat tulisan ini, “Makna dan Filosofis Lambang serta Semboyan Kabupaten Majene: Suatu Tinjauan Historis, dan Makna dan Filosofi Lambang serta Semboyan Kabupaten Daerah: Suatu Tinjauan Historis. Tim penyusunnya H. Kalma Katta, S.Sos. MM., Drs. H. Saggaf Katta, MM., dan Drs. Darmansyah, M. Hum.”

Dalam paparan “Makna & Filosofis Lambang serta SemboyanKabupaten Majene: Suatu Tinjauan Historis” tentang makna-makna logo baru tak ada lagi penjelasan tentang Kabupaten Polewali Mamasa dan Kabupaten Mamuju. Pada slide ke-30 hanya tertulis, “Gunung dalam lambang daerah tetap dipertahankan, namun perlu dipertimbangkan untuk disatukan dengan gambar daratan (warna hijau). Dengan demikian gunung dalam lambang tidak berwarna putih tapi berwarna hijau yang menyatu dengan daratan lainnya.Gambar gunung dalam lambang daerah adalah Buttu Adolang sebagai lambang benteng pertahanan Ammana Wewang dan Ammana Pattolawali dalam melawan PHB”.

Ketiga unsur buku. Tak perlu repot-repot memasang simbol itu, maknai saja itu layar itu sebagai buku! Kan mirip buku to? Malah kalau lihat unsur di logo usulan, itu orang bisa salam paham. Nanti dikira “Univesitas Majene”. Pasalnya, simbol ‘buku yang terbuka’ identik dengan lembaga pendidikan. Jadinya, logo Majene terlalu pasaran.

Lalu bagaimana dengan unsur penyu, yang diwakili grafis atau pola sisik penyu di perisai. Nah ini kita harus hati-hati menjadikannya sebagai “ussul”. Kenapa?
Pertama, alasan unsur itu dipakai karena konon ketika beberapa kerajaan di daerah Majene dilantik, si calon raja menginjak penyu.

Itu terdapat di paparan “Makna & Filosofi Lambang serta Semboyan Kabupaten Daerah: Suatu Tinjauan Historis”. Di situ tertulis, slide 10: “Perubahan: Dasar lambang yang berbentuk perisai/ tameng adalah punggung penyuh (sissi’) melambangkan pertahanan dan persatuan yang membentengi dan memagari seluruh potensi yang berada dalam wilayah kabupaten Majene; slide 11 “Filosofi Penyu Terhadap Pemimpin di Mandar: Penyu berkulit tebal, melindungi tubuhnya dari predator; Diharapkan Pemimpin/ raja dapat melindungi rakyatnya dari berbagai bentuk ancaman termasuk ancaman kelaparan & kemiskinan. Raja – raja di Mandar dilantik di atas punggung penyu (M.T. Azis Syah, I Calo Ammana Wewang, 1980/ 1981, h. 71)”

Kalau dibawa ke sekarang, itu mengesankan bahwa “penyu ditangkap lalu diinjak oleh manusia sebagai penguasa”. Dari sudut pandang “enviromentalis” (pemerhati lingkungan) itu kayak hinaan terhadap penyu. Melawan arus upaya konservasi penyu yang dilakukan dunia sekarang ini. Kalau orang tahu bahwa di logo Kabupaten Majene “diinspirasi” dari praktek menginjak penyu kala raja dilantik, waduh!

Lalu, ada sedikit yang saya mau sampaikan prihal penyu. Saya sedikit banyak mempelajari penyu dan sekarang ini menyicil menulis buku tentang penyu. Dari segi biologis, kalau kebiasaan penyu dibawa atau dibandingkan ke kebiasaan manusia, itu banyak yang tidak sesuai, tidak etis. Misal, selesai bertelur si induk meninggalkan anaknya begitu saja. Sejak anak keluar dr rahim ibu, tak pernah mereka beradu pandang. Lalu, itu penyu kalau proses pembuahan, sering “threesome”. Ini agak vulgar kalau dijelaskan apa itu “threesome”. Yang jelas, jangan sampai deh filosofi penyu yang “ini” dianggap ada di logo Kabupaten Majene. (*). Bersambung …

  • Bagikan