Logo kadang seperti jimat; logo memiliki sifat yang disematkan pada jimat; logo hampir sama dengan jimat. Dalam tradisi Mandar, keduanya mempraktekkan “ussul”. Yakni penyimbolan: mengambil ‘hikmah’ dari sebuah unsur (bisa bentuk maupun sifatnya) untuk kemudian sifat unsur tersebut diharapkan “menjadi seperti itu” dalam apa yang dilakukan si pemiliki jimat; si pemilik simbol.
Oleh:
Muhammad Ridwan Alimuddin
Beberapa hari terakhir ini ada polemik prihal logo Majene. Ceritnya, jimatnya Kabupaten Majene mau diganti dengan jimat ‘model’ baru. Alasan yang mengusulkan penggunaan jimat pengganti, unsur-unsur yang ada di jimat lama, yang digunakan saat ini, “tak sesuai zaman”.
Dalam lembaga pemerintahan daerah, logo adalah bagian dari lambang daerah, selain bendera, bendera jabatan kepala daerah, dan himne. Pengertian lambang daerah menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat daerah yang mencerminkan kekhasan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lambang daerah berkedudukan sebagai tanda identitas daerah dan berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam NKRI.
Pada pasal 6 dijelaskan juga bahwa desain logo daerah disesuaikan dengan isi logo yang menggambarkan potensi daerah, harapanmasyarakat daerah, serta semboyan untuk mewujudkan harapan tersebut. Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannyadengan desain logo dan bendera daerah lain, partai politik, organisasi kemasyarakatan, atau negara lain. Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannyadengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakanseparatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam PP No. 77 tersebut tidak ada regulasi tentang tata cara penggantian lambang, termasuk logo. Meski tak ada, jarang sekali ada daerah yang mengganti lambangnya suka-suka. Kecuali ada perubahan signifikan di daerah tersebut. Misalnya logo Kabupaten Polewali Mamasa. Logo itu diganti karena kabupaten Polmas dibagi dua: Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mandar. Karena ada “simbol kultural” Mamasa di logo Polmas sedang Mamasa sudah tak ada di Polmas (ibukota Polmas menjadi ibukota Kabupaten Polewali Mandar atau Polman), maka logo memang harus diganti. Demikian juga Mamasa sebagai kabupaten baru.
Tapi bagaimana dengan Kabupaten Mamuju yang juga dibagi menjadi tiga kabupaten? Apakah mengganti logo juga sebagaimana Polman? Sepertinya tidak. Unsur-unsur “simbol kultural” yang ada di logo Kabupaten Mamuju masih tetap ada di wilayah Kabupaten Mamuju, misal Buttu Sandapang di Kalumpang, masih tetap milik Kabupaten Mamuju. Jadi pemerintah Kabupaten Mamuju menganggap tak perlu, masih relevan.
Mungkin yang tidak relevan (alasan yang juga digunakan pengusul logo baru untuk Kabupaten Majene) di logo Kabupaten Mamuju adalah simbol enam tali sambung menyambung membentuk bingkai perisai yang bermakna bahwa (dulu) Kabupaten Majene terdiri dari enam kecamatan, sekarang 11 kecamatan.
Sebagai “jimat” yang padanya ada “ussul”, berikut penjelasan unsur-unsur yang ada di logo Majene, sebagaimana dijelaskan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene No. 2 Tahun 1981 Seri “C” No. 1, Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene Nomor: 3 Tahun 1979 Tentang Lambang Daerah, masa kepemimpinan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Majene Alim Bachrie.
Dasar lambang yang berbentuk perisai dan beralaskan batil melambangkan pertahanan dan persatuan seluruh potensi yang berada dalam Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene. Empat buah petak/bidang dalam ruang perisai melambangkan bahwa Kabupaten Daerah Tingkat II Majene terdiri dari 4 (empat) kecamatan ialah: Kecamatan BanggaE, Kecamatan Pamboang, Kecamatan Sendana dan Kecamatan Malunda. Bintang bersudur lima, melambangkan bahwa Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene senantiasa menghayati dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam prinsip ke Tuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa.
Daun Kelapa yang berjumlah dua puluh lembar, melambangkan bahwa Kabupaten Daerah Tingkat II Majene, terdiri dari dua puluh Desa. Mayang kelapa yang berbutir sejumlah 126 (Seratus dua puluh enam) biji, melambangkan bahwa Kabupaten Daerah Tingkat II Majene didukung oleh 126 (Seratus dua puluh enam) buah kampung.Tunas kelapa (cikal) berkuncup dua, melambangkan bahwa Rakyat Daerah Kabupaten Tingkat II Majene bersumber dari kesatuan Masyarakat Suku Mandar yang berasal dari bentuk Kerajaan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga (tujuh hulu sungai dan tujuh muara sungai).
Tiga deretan puncak gunung melambangkan bahwa dinamika Pertumbuhan Perjuangan Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene, dilatarbelakangi oleh sejarah pertumbuhannya, yang bersumber dari Kebudayaan Mandar yang dirubah dan dibahagi menjadi tiga daerah Kabupaten masing-masing: 1. Kabupaten Majene; 2. Kabupaten Polewali Mamasa, dan 3. Kabupaten Mamuju.
Sedang puncaknya yang tertinggi adalah gunung Adolang, sebuah gunung yang bersejarah di daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene dimana gunung tersebut menjadi benteng/pertahanan pahlawan Mandar Ammana Pattolawali dan Ammana Wewang melawan penjajah Belanda.Akhirnya Ammana Pattolawali tewas dalam pertempuran di gunung tersebut yang dimakamkan di Allu Kecamatan Tutallu Polmas.
Laut dengan alunan ombak memutuh bersih, melambangkan bahwa Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene, termasuk bahariawan yang ulung dan ulet, lagi pula teguh dalam pendirian serta toleransi dalam Masyarakat untuk mufakat.Perahu yang berbentuk Spesifik Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene bernama Olang Mesa yang berasal dari kata Uluang Mesa artinya Tujuan Satu, melambangkan bahwa Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene berwatak pantang mundur dalam mencapai tujuan yang satu, utamanya dalam mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa, dengan dijiwai oleh Motto Budaya Mandar mengatakan:Takkalai disobalang, Dotai Lele Ruppu, Dadzi nalele, Tuali dilolangan (Sekali layar terkembang, Biarkan hancur berantakan, Pantang mundur, Balik Haluan).
Pita yang bertuliskan MAJENE melambangkan bahwa keempat buah Kecamatan yaitu Banggae, Pamboang, Sendana dan Malunda terikat dalam suatu kesatuan dalam Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene.
Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan tentang makna warna di logo Majene. Pasal 3: Warna lambang terdiri dari warna merah, putih, kuning, hijau, biru, coklat tua dan kuning emas; keseluruhan warna yang terdapat dalam lambang itu membawa makna/pengertian bahwa Rakyat Kabupaten Daerah Tingkat II Majene memiliki sifat kesatria, tabah, suci dan ikhlas dalam pengabdian untuk mencapai cita-cita kemakmuran dan kejayaan. Berikutnya secara detail tentang pedoman ukuran satu unsur dengan unsur yang lain. (*) Bersambung …