MAMUJU – Bentang alam yang kompleks dengan topografi wilayah bervariasi, membuat Sulbar berhadapan dengan ancaman bencana akibat fenomena geologi dan hidrometeorologi. Bencana yang sering terjadi adalah longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang ekstrim dan abrasi yang cukup tinggi, hingga gempa bumi.
Pada aspek geologi, wilayah provinsi ke 33 ini merupakan morfologi perbukitan hingga perbukitan terjal, lembah dan dataran pantai seperti batuan sedimen, batu gamping, gunungapi dan endapan kuarter yang mengalami pelapukan bersifat urai, lunak, lepas, dan kompak (unconsolidated), sehingga rawan guncangan gempa bumi. Bahkan berpotensi terjadinya gerakan tanah atau longsor.
Sejak dulu, wilayah yang kini disebut Sulbar, tercatat beberapa kali mengalami gempa bumi yang memicu tsunami, yakni tahun 1928, 1967, 1969, dan 1984. Teranyar, gempa bumi pada Kamis 14 Januari 2021 dengan 5,9 magnitudo disusul pada Jumat dini hari 15 Januari 2021 dengan 6,2 magnitudo. Gempa yang menimbulkan kerusakan luar biasa itu berada pada kedalaman 10 km, berjarak 35 km selatan Kota Mamuju dan 62,2 Km di utara Kota Majene.
Becana pada Januari silam itu mengakibatkan 105 orang meregang nyawa. Yang diinyatakan hilang ada 3 orang, 426 orang luka berat, 2.040 luka sedang, dan 2.703 orang luka ringan. Sementara kerugian material ditaksir mencapai Rp 206.415.588.200 (data per Januari 2021). Tidak hanya sarana milik pemerintah dan fasilitas umum yang rusak, tapi ribuan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal.
Belajar dari rentetan peristiwa itu, kedepan sudah selayaknya pemerintah daerah ini memiliki pola penanganan bencana. Itu diperlukan agar dalam penanganan pasca bencana tidak ada lagi yang gagap. “Disini kita tentu paham betapa pentingnya manajemen penanganan bencana,” ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulbar Amri Ekasakti, Jumat 14 Januari 2022, di kantornya.
Merefleksi setahun bencana gempa yang menimpa daerah ini, Amri Ekasakti mengatakan, pemerintah mulai menyusun dokumen rencana penanggulangan bencana. Itu diawali dengan beberapa tahapan. Mulai dari kesiapsiagaan terhadap bencana, pengembangan Kapasitas Tim Reaksi Cepat (TRC) Bencana, penyusunan rencana kontijensi, pengelolaan dan pemanfaatan sistem informasi kebencanaan.
Kemudian, pengendalian operasi dan penyediaan sarana prasarana kesiapsiagaan terhadap bencana, pengelolaan risiko bencana, pelatihan mencegahan dan mitigasi bencana, penguatan kapasitas kawasan untuk pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.
Selanjutnya adalah sosialisasi, Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) rawan bencana provinsi (perjenis bencana), penguatan kelembagaan bencana daerah, sampai pada pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penanggulangan bencana kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pada aspek kedaruratan dan logistik, beberapa langkah yang ditempuh itu dimulai dari penyediaan logistik dan penanggulangan bencana, kaji cepat tanggap darurat saat bencana TRC dan posko siaga, pembinaan dan permberdayaan satgas relawan bencana, permberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam partisipasi penyiapan logistik dan peralatan bencana, bimbingan dan pembekalan manajemen logistik dan peralatan, sampai pada sosialisasi penanganan tanggap darurat.
“Ini memang tidak mudah. Tapi kita cukup belajar dari apa yang telah menimpa kita tahun lalu. Proses pemulihan begitu panjang. Kita semua berharap bencana semacam ini tidak terulang,” ucap Amri di kantornya, Jumat 14 Januari 2022.
Patut diketahui, kondisi Sulbar termasuk rawan bencana geologi maupun bencana hidrometerologi, yang setiap saat dapat mengancam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sehingga, pengembangan dan peningkatan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia, merupakan kebutuhan proritas utama dalam penanganan penanggulangan bencana.
Edukasi terhadap masyarakat tentang pentingnya mitigasi bencana perlu dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mengantisipasi dan meminimalisasi dampak bencana alam.
Untuk itu, kedepan, dibutuhkan koordinasi yang kuat baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi dalam menyusun kebijakan penanganan penanggulangan bencana secara terpadu dan holistik melalui program yang terukur demi mewujudkan penanganan penanggulangan bencana yang tangguh dan berkelanjutan secara profesional dan inklusif.
“Maka diperlukan perhatian dan dukungan seluruh komponen untuk peningkatan kemampuan dan pemahaman pada wilayah rawan bencana. Hal ini juga sangat penting bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga mampu mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dalam pengurangan resiko bencana,” ujar Amri Ekasakti menjelaskan. (ham)